Jum'at, 26 April 2024  
 
Hakim-Hakim di Jepang Buat Prof Mahfud Kaget

ZAI | Serba-Serbi
Sabtu, 28 Januari 2023 - 07:43:13 WIB

MahmudMD
TERKAIT:
   
 
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD

SAYA terperangah dan takjub ketika pada Selasa, 16 Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh pimpinan  ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya. ANC adalah sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.
 
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu. Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
 
Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
 
“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.
 
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto. 

Saya lihat Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.   
 
Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
 
Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). 

Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.
 
Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang. 

Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
 
Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
 
Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo. 

Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri. 

Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik
 
Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa? 

“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.
 
Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.
 
Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila. 

“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.

by: Moh Mahfud MD
• Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN);
• Ketua MK (2008-2013);
(poe)


comments powered by Disqus


Berita Lainnya :
 
  • Ranperda Diharapkan Dapat Melindungi Petani dan Peternak Di Jabar
  • Pererat Silaturrahmi, TP PKK dan DWP Riau Gelar Halalbihalal
  • Pemprov Riau Gelar Upacara Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-28
  • PWI Pusat Rusak Akibat Korupsi Dana Hibah Rp.2,9 M, Jusuf Rizal Desak KLB
  • Pj Gubri Ikuti Peringatan Hari Otonomi Daerah XXVIII Tahun 2024 di Surabaya
  • Pentingnya Pembinaan Atlet Sejak Usia Dini
  • Indikasi Korupsi Dana Hibah BUMN oleh Pengurus PWI, Ini Kronologi Lengkapnya
  • Peringati Hari Bumi, Kota Cimahi Kirim Perdana RDF Di TPS Santiong
  • Laporan Wartawan Atas Dugaan Pengancaman Kepada Wartawan Naik Sidik
  •  
     
     
    Selasa, 19 Januari 2021 - 13:08:10 WIB
    Babinsa Koramil 07/Alasa Melaksanakan Komsos Dengan Masyarakat Desa Sisarahili
    Jumat, 09 Desember 2022 - 09:20:48 WIB
    TERKAIT DANA PUBLIKASI MEDIA DI KOMINFO DAN SETWAN DPRD PELALAWAN
    Diskominfo Dan Setwan DPRD Pelalawan Akan Segera Di Laporkan
    Senin, 10 Februari 2020 - 12:31:49 WIB
    Terungkap, Warga Yang Lapor Anies Mendapat Tekanan
    Jumat, 12 Februari 2021 - 16:06:51 WIB
    Vaksinasi Nakes di Pekanbaru Baru 70 Persen
    Jumat, 22 Januari 2021 - 12:26:42 WIB
    Kebakaran Kawasan Pasar Kuok, Belasan Kios Hangus Namun Tak Ada Korban Jiwa
    Senin, 08 Maret 2021 - 17:56:04 WIB
    Polri Beberkan 4 Alat Bukti Dasar Penetapan Tersangka Habib Rizieq
    Selasa, 27 Februari 2024 - 00:56:20 WIB
    Ruang Kelas di SMAN 3 Kota Bekasi Jadi Perhatian Anggota Dewan Yang Masih Minim
    Kamis, 14 Januari 2021 - 23:04:52 WIB
    Bukan Plh Sekdaprov Pertama Divaksin, Tapi Danrem 031 Wirabima
    Jumat, 01 Mei 2020 - 20:43:19 WIB
    LAWAN COVID-19
    Himbauan Tidak Di Indahkan, Masih Jalankan Salat Tarawih Berjamaah Saat Pandemi Covi-19
    Minggu, 01 Maret 2020 - 11:16:50 WIB
    AKBP Indra Duaman Siahaan Menjalin Silahturami Dengan Awak Media
    Kapolres INHIL Jalin Sinergitas Bersama IWO dan Insan Pers
    Sabtu, 03 Juli 2021 - 08:41:11 WIB
    Catur Sugeng Lantik 21 Pejabat Pengawas dilingkungan Pemkab Kampar
    Selasa, 13 April 2021 - 21:29:02 WIB
    DPRD Jabar : Musrenbang 2022 Jawa Barat Prioritaskan Pemulihan Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat
    Jumat, 31 Juli 2020 - 19:11:25 WIB
    Idul Adha 1441 H
    Laksanakan Shalat Ied Kampung Halaman, Catur Sugeng Serahkan Hewan Qurban
    Rabu, 27 Mei 2020 - 10:31:29 WIB
    MENUJU TATANAN BARU, KE SEBUAH NORMAL YANG BARU
    Presiden Jokowi Tinjau Pusat Niaga di Bekasi
    Selasa, 16 Juni 2020 - 09:54:58 WIB
    Wakil Bupati H Darma Wijaya Kunjungi Korban Bencana Angin Puting Beliung di Kecamatan Serbajadi
     
    Riau | Nasional | Ekonomi | Hukrim | Politik | Olahraga | Kesehatan | Budaya | Pendidikan | Internasional | Lifestyle
    Advertorial | Indeks Berita
    About Us | Redaksi | Pedoman Media Siber | Info Iklan | Disclaimer
    Copyright © 2020 PT. Tiras Kita Pers, All Rights Reserved