Tiraskita.com - Presiden Joko Widodo akhirnya menyatakan sikap tegas terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Jokowi meminta DPR segera mengesahkan RUU TPKS.
"Saya berharap RUU Tindak Pidana Seksual segera disahkan. Sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di tanah air," katanya dalam saluran YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (4/1).
Nasib RUU TPKS saat ini masih menggantung di DPR. Setelah dirampungkan oleh Badan Legislasi (Baleg) pada 8 Desember 2021, naskah RUU TPKS tidak kunjung disahkan sebagai inisiatif DPR RI di rapat paripurna.
Ketua DPR RI Puan Maharani berjanji akan membawa RUU TPKS di rapat paripurna setelah masa reses berakhir pada pekan depan. Ia berjanji akan segera membahas RUU TPKS bersama pemerintah setelah disahkan dalam rapat paripurna dan pemerintah mengirimkan surat presiden untuk membahasnya.
"Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sudah merampungkan pembahasan RUU TPKS. Pengesahan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR akan dilakukan dalam rapat paripurna setelah reses untuk kemudian kami kirimkan ke Pemerintah sehingga dapat ditindaklanjuti pada pembahasan tingkat II," ujar Puan dalam keterangannya, Selasa (4/1).
Mandek Sejak Lama
RUU TPKS memang sudah terkatung-katung lama. Dahulu, RUU ini bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan menginisiasi pembentukan peraturan perundangan yang memayungi masalah kekerasan seksual sejak tahun 2012. Sebabnya, Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Komnas Perempuan membujuk DPR untuk membuat payung hukum tentang kekerasan seksual. Baru pada tahun 2016, Komnas diminta menyerahkan naskah akademiknya. DPR dan Pemerintah pun memasukan RUU PKS pada Prolegnas Prioritas 2016.
Pada 2017, RUU PKS disepakati menjadi inisiatif DPR RI. RUU ini kemudian diputuskan dibahas di Komisi VIII yang membidangi isu sosial.
RUU PKS ini mengalami pro kontra yang panjang. Penolakan itu datangnya dari partai-partai Islam. Paling keras penolakan datang dari Fraksi PKS.
Pembahasan yang sedianya mengenai kekerasan seksual, justru berbelok arah menjadi isu-isu legalisasi seks dan hubungan sesama jenis. RUU ini juga tak selesai-selesai karena berdebat di masalah judul dan definisi.
Ditarik dari Prolegnas Prioritas
Setelah berganti DPR periode 2019-2024, RUU PKS tetap masuk Prolegnas Prioritas. Namun, Komisi VIII pada saat rapat membahas Prolegnas Prioritas 2020 pada 30 Juni 2020, meminta RUU PKS ditarik karena alasan pembahasannya yang sulit.
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto ketika itu mengakui, pembahasan RUU PKS sulit karena perbedaan tajam antar fraksi yang menolak maupun mendukung. Dia mengakui, isunya banyak poin sensitif menjadi pembahasan mengenai orientasi seksual dan LGBT.
Ubah Nama RUU
Pada tahun 2021, RUU PKS kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas. Namun, September 2021, RUU PKS berubah namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Draf terbaru RUU TPKS dinilai Ketua Panja Willy Aditya lebih kompromistis dibanding sebelumnya. Menjadi jalan tengah pihak yang menolak dan mendukung RUU ini.
"Materi muatannya sudah sangat kompromistis kok, sudah sangat jalan tengah dari apa yang menjadi kekisruhan sebelumnya," kata Willy pada November 2021 lalu.
Mengenai seksual consent yang menjadi perdebatan sebelumnya dihilangkan pada draf terbaru. RUU TPKS hanya fokus tentang kekerasan seksual saja. Tidak mengatur masalah seksualitas dan ranah pribadi.
Didukung Tujuh Fraksi
Dalam proses penyusunan RUU TPKS, PKS masih paling gencar menolak. Golkar dan PPP meminta penundaan rapat pleno pengambilan keputusan draf RUU TPKS. Fraksi yang tegas mendukung hanya PDIP, NasDem, dan PKB yang merupakan pengusul.
Lobi-lobi alot terus dilakukan Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya. Bahkan, dari Istana melalui gugus tugas juga melobi partai-partai koalisi pemerintah untuk mau menyetujui RUU TPKS.
Hingga akhirnya rapat pleno pengambilan keputusan digelar pada 8 Desember 2021. Tujuh fraksi menyatakan menyetujui RUU TPKS. Yaitu enam fraksi PDIP, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat dan PAN menyatakan setuju. PPP setuju dengan syarat meminta mengubah judul RUU menjadi Tindak Pidana Seksual.
Kemudian, Partai Golkar tidak memberikan sikap tegas menolak atau menerima naskah RUU TPKS. Mereka meminta dibahas lebih lanjut pada masa sidang berikutnya.
Sementara Fraksi PKS masih tidak menyetujui draf RUU TPKS. Karena masih tidak sepakat masalah seksual consent dan tidak ada larangan mengenai perzinahan dan LGBT. RUU TPKS dianggap PKS melegalkan zina.
Batal Dibawa ke Paripurna
Baleg sudah merampungkan naskah RUU TPKS, tetapi pimpinan tak mengagendakan untuk diambil keputusan di rapat paripurna. RUU TPKS masih perlu disahkan dalam rapat paripurna untuk menjadi inisiatif DPR RI. Setelah itu DPR mengirimkan ke pemerintah, dan menunggu surat presiden untuk pembahasan lebih lanjut sebelum pengesahan menjadi undang-undang.
Namun, pada penutupan masa sidang akhir Desember 2021, RUU TPKS tidak diagendakan dalam rapat paripurna.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sebelumnya tidak dibawa ke rapat paripurna karena masalah mekanisme. Perlu dibahas dalam rapat pimpinan dan badan musyawarah. Sementara, saat digelar rapat pimpinan itu harmonisasi di Baleg belum selesai. Dasco mengatakan, jika tidak melalui Bamus, dikhawatirkan akan cacat hukum.
"Kalau kemarin paksakan tidak lewat bamus kemudian rapat paripurna itu akan menyebabkan nantinya malah undang undang tersebut menjadi cacat hukum dan bisa dijudicial review," ujar Dasco dalam keterangannya dikutip Rabu (5/1).
Dasco menjamin DPR akan segera mengesahkan RUU TPKS menjadi inisiatif DPR dalam rapat paripurna berikutnya. Dan segera dibahas untuk disahkan menjadi undang-undang.
"Secepatnya setelah itu kita akan membahas dan kita akan prioritaskan supaya menjadi undang undang," ujar Dasco.