TIRASKITA.COM - Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengatakan bahwa Rusia harus dikeluarkan dari forum Kelompok 20 ekonomi utama, dan Amerika Serikat akan memboikot "sejumlah pertemuan G20" di Indonesia jika pejabat Rusia muncul.
Komentarnya itu muncul pada rapat dengan Komite Jasa Keuangan DPR AS Rabu (06/4) dan ini menimbulkan pertanyaan tentang peran masa depan G20 setelah invasi Rusia ke Ukraina.
"Presiden Biden menjelaskan, dan saya tentu setuju dengannya, bahwa Rusia tidak bisa menjadi mitra bisnis seperti biasa di lembaga keuangan mana pun," kata Yellen dalam menanggapi sebuah pertanyaan, seperti dikutip Reuters.
"Dia meminta agar Rusia dikeluarkan dari G20, dan saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di Indonesia bahwa kami tidak akan berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan jika Rusia ada di sana," lanjut Yellen.
Indonesia tahun ini memimpin G20 dan menjadi tuan rumah pertemuan keuangan pada bulan Juli dan pertemuan puncak para pemimpin pada bulan November. Rusia sudah menyatakan Presiden Vladimir Putin ingin hadir di KTT G20 nanti.
Seorang juru bicara Departemen Keuangan AS kemudian mengatakan bahwa Yellen mengacu pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 pada 20 April di sela-sela Pertemuan Musim Semi IMF dan Bank Dunia di Washington dan pertemuan deputi terkait.
Pertemuan keuangan April nanti akan diadakan secara langsung dan virtual dan partisipasi Rusia belum jelas untuk saat ini.
Indonesia diminta lancarkan lobi khusus
Sebelumnya, pemerintah Indonesia diminta melakukan lobi politik khusus untuk meyakinkan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, agar menghadiri pertemuan G-20 di tengah seruan kencang memboikot acara itu jika Presiden Rusia, Vladimir Putin, datang.
Seorang pengamat hubungan internasional mengatakan tanpa kehadiran pemimpin negara Barat ataupun Rusia, maka pertemuan tersebut akan sulit menghasilkan solusi menyusul kacaunya perekonomian dunia akibat pandemi dan perang.
Adapun pemerintah Indonesia tetap pada sikapnya untuk tidak memihak dan pertemuan di Bali itu ditujukan pada pemulihan ekonomi global yang menjadi prioritas penduduk dunia saat ini.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hariyadi Wirawan, menilai Indonesia berada dalam situasi sulit karena berada di antara tarik-menarik kepentingan negara Barat yang menentang kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan G-20 serta menyerukan untuk memboikot acara itu jika Putin benar-benar datang.
Namun sebagai tuan rumah acara, kata dia, Indonesia sudah semestinya mengundang semua negara anggota G-20 tanpa terkecuali, terlepas dari perseteruan politik yang terjadi akibat perang di Ukraina.
Itu mengapa sikap pemerintah yang netral dianggap tepat.
Sebaliknya, jika para pemimpin negara Barat menolak hadir ke KTT, maka hal itu sama saja menghina Indonesia.
"Kita tidak bisa menolak kehadiran Presiden Putin karena itu artinya memihak Barat. Dan karena Indonesia mengundang Putin bukan diartikan kita pro-Rusia.
"Jadi saya harap Indonesia berpegang teguh pada pendiriannya yang bebas aktif dan bahwa pertemuan ini untuk membincangkan masalah-masalah ekonomi dunia," ujar Hariyadi Wirawan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/3).
"Mereka bertarung silakan, tapi Indonesia membuat jarak yang sama dengan mereka. Karena itu kita tidak akan bisa di bawah tekanan Barat untuk menghalangi kehadiran Putin."
Menurut Hariyadi pemerintah Indonesia harus bisa membujuk negara-negara Barat dan Rusia untuk tetap datang dengan argumentasi bahwa pertemuan ini jauh lebih penting dari apa yang terjadi di Ukraina.
Pasalnya pemulihan ekonomi dunia mustahil terwujud tanpa Rusia.
"Pertemuan ini didesain bukan untuk berkelahi secara politik. Tapi membicarakan ekonomi global." Apa yang bisa dilakukan Indonesia?
Suara senada disampaikan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasional Demokrat, Muhammad Farhan.
Ia mengatakan keberhasilan Indonesia sebagai tuan rumah KTT G-20 dinilai dari hadirnya seluruh kepala negara.
"Satu saja tidak datang, Indonesia gagal menjadi tuan rumah," ujar Farhan.
Di sisi lain prinsip kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif sudah saatnya diterapkan dan ditunjukkan kepada dunia.
Dalam situasi seperti ini, kata Farhan, pemerintah Indonesia harus menunjukkan dirinya memiliki posisi yang setara dengan negara lain.
Sehingga negara-negara Barat maupun Rusia harus menghormati keputusan Indonesia.
"Nah ini yang kemudian akan dilihat oleh rakyat Indonesia terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi."
Kata Farhan, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadirkan semua kepala negara G-20 pada November mendatang.
Pertama, dengan lobi politik personal.
Indonesia, klaimnya, memiliki tiga tokoh yang sangat dekat dengan kalangan pembuat keputusan di Amerika Serikat.
Seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani, Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu, dan Duta Besar Indonesia untuk AS Rosan Roeslani.
"Ketiga orang ini saya harap bisa dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk melakukan lobi tingkat tinggi terhadap pihak-pihak pembuat keputusan di AS."
Kedua yakni mengajak dan melibatkan negara lain di G-20 seperti Arab Saudi, Brasil, dan India untuk bisa meyakinkan negara-negara Barat dan AS serta Rusia untuk mengesampingkan perseteruan politik mereka.
"Indonesia dan negara lain bisa menjadi penegah demi mencegah terjadinya hiper-inflasi di dunia akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas."
"Dua kartu as itu bisa dimainkan Indonesia."
Farhan juga menilai waktu delapan bulan cukup untuk mengatasi persoalan ini. Apalagi kalau eskalasi perang di Ukraina menurun dan ditambah lahirnya solusi dari PBB.
Itu mengapa ia menyarankan pemerintah Indonesia untuk tidak mengabulkan keputusan atau permintaan apapun dari kedua belah pihak. Bagaimana sikap Indonesia?
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan Indonesia sebagai ketua G-20 tahun ini tidak memihak.
Hal itu dinyatakan di tengah seruan Perdana Menteri Australia Scott Morrison agar Presiden Rusia Vladimir Putin tidak diundang dan supaya Rusia dikeluarkan dari forum itu seperti yang disampaikan Presiden AS Joe Biden.
"Sebagai presidensi tentunya dan sesuai dengan presidensi-presidensi sebelumnya adalah mengundang semua anggota G20," kata Staf Khusus Menlu bidang Penguatan Program-program Prioritas Kemenlu dan Co-Sherpa G20 Indonesia, Dian Triansyah Djani.
Ia menambahkan Indonesia dalam mengetuai berbagai konferensi suatu forum dan organisasi berpegang pada aturan yang berlaku, dan tidak terkecuali di G-20.
"Oleh karena itu memang kewajiban untuk presiden G20 untuk mengundang semua anggotanya," katanya.
KTT G-20, sambungnya, akan dipusatkan pada pemulihan ekonomi global yang menjadi prioritas penduduk dunia saat ini.
Presiden Putin, kata duta besarnya di Jakarta, Lyudmila Vorobieva, mengatakan telah menerima undangan dari Indonesia dan berkeinginan hadir di Bali pada November mendatang.
Disinggung mengenai desakan agar Rusia dikeluarkan dari G-20, Vorobieva mengatakan hal itu tidak membantu mengatasi masalah ekonomi global.
Dia mendesak Indonesia, yang tahun ini memimpin G20, untuk tidak terombang-ambing oleh tekanan dari negara-negara Barat. Apa yang perlu dibahas dalam pertemuan G-20?
Pakar hubungan internasional, Hariyadi Wirawan, mengatakan satu hal yang diharapkan dari pertemuan KTT G-20 adalah pemerintah Indonesia bisa membawa kembali negara-negara Barat dan Rusia "ke jalur yang sebenarnya" seperti sebelum terjadinya perang di Ukraina.
Sebab setelah negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia, perekonomian dunia terancam kacau.
Itu mengapa mau tidak mau, katanya, pertemuan G-20 akan tetap menyentuh persoalan politik internasional yang saat ini terjadi.
"Besar kemungkinan diskusinya lebih banyak masalah politik internasional. Karena perekonomian dunia jadi kacau dan tidak bisa kembali ke track-nya. Sistem keuangan kacau karena boikot negara Barat ke Rusia."
"Maka gambaran saya atas pertemuan itu agak suram. Saya pikir Indonesia sedapat mungkin melakukan hal-hal yang perlu untuk meminta mereka kembali ke jalur yang sebenarnya."
"Dengan begitu menghasilkan sesuatu."
Baginya tanpa kehadiran Rusia maka sulit membawa perbaikan bagi permasalahan ekonomi global yang dihantam pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina.
Apalagi Rusia sekutu dekat dengan China.
"Rusia dekat dengan China dan China punya kapasitas besar dalam perekonomian yang bisa mengganggu perdagangan internasional."
"Rusia juga memiliki cadangan minyak dan gas yang besar, banyak negara Eropa Barat ketergantungan pada Rusia yang menyebabkan AS tidak bisa sendirian untuk segala sesuatunya."
"Jadi kalau Rusia tidak datang, susah terwujud [pemulihan ekonomi] sebab saling berkaitan."
Tapi lebih dari itu banyak negara berkembang bergantung pada negara maju.