Penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Gunungsitoli,
Sumatera Utara hingga Januari 2021 adalah terpidana kasus pembunuhan
dengan jumlah 31,5 persen dan kasus narkoba 27 persen.">
Gunungsitoli | TIRASKITA.COM – Penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Gunungsitoli, Sumatera Utara hingga Januari 2021 adalah terpidana kasus pembunuhan dengan jumlah 31,5 persen dan kasus narkoba 27 persen.
“Paling banyak adalah kasus pembunuhan sebanyak 63 orang dari 167 narapidana dan urutan kedua terbanyak adalah kasus narkoba sebanyak 54 orang ,” ujar Kalapas Kelas II B Gunungsitoli Soetopo Berutu.
Sementara, sisanya terjerat beragam kasus mulai dari penganiayaan 33 terpidana, KDRT 5 orang terpidana, terpidana UU perlindungan anak dan asusila 40 orang, sajam 2 orang terpidana dan lainnya merupakan terpidana korupsi dan judi.
Kalapas Gunungsitoli kepada wartawan, Senin (18/1) diruang kerjanya menyampaikan keprihatinannya atas meningkatnya jumlah terpidana kasus pembunuhan dan kasus narkoba.
“Kami sangat prihatin melihat tingginya kasus tindak pidana pembunuhan, penganiayaan dan narkoba juga tindakan asusila. Artinya, kira-kira hampir setengah tindak pidana kekerasan dan menghilangkan nyawa manusia, apakah ini merupakan dampak dari mengonsumsi minuman keras (miras), kami belum bisa memastikan kebenaran info ini, memang menurut pengakuan para warga binaan ada mengatakan sebelum kejadian sempat meminum tuak suling (tuo nifarô) nama lain dari miras bahasa Nias, tetapi bisa saja disebabkan hal-hal sepele di kampung bisa jadi iya, tetapi bisa juga tidak, kami melihat ada yang kurang pas di kehidupan sosial masyarakat, sehingga saudara-saudara kita pelaku kekerasan itu sampai lepas kontrol dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain” ujar Soetopo Barutu.
Imbuh Soetopo, kedepan ini mengharapkan agar pemerintah daerah bersama jajarannya sampai ketingkat desa dan teman gakkum lain tidak jemu-jemunya mengajak dan mengingatkan masyarakat agar saling mengasihi, tidak mudah menyakiti sesama, dapat menahan diri, tidak mudah emosi dan lebih baik berdamai bila ada masalah. Bagi warga yang biasa mengonsumsi miras agar minum secukupnya dan untuk lebih aman diminum dirumah, sehingga tidak mengganggu orang lain.
Soetopo juga berikan masukannya, agar miras Tuo Nifarô dapat diusulkan dan lebih memiliki nilai komersil dibuat perda seperti Tuak Bali( arak bali) dikemas dan dijual dengan nilai tinggi dan tidak sembarang masyarakat mengunakannya. Sehingga petani TN di bantu pemda dalam pengelolaannya bila perlu dibuat sanksi sosial bagi pelanggarnya, katanya.
Menurutnya, perlu juga dipahami bersama dampak negatif yang timbul bila kasus pembunuhan dan penganiayaan terus menerus terjadi, dikhawatirkan akan menjadi dendam keturunan. Sebab mungkin bagi korban merasa tidak adil dan tidak puas, maka hal ini perlu dimediasi oleh tokoh adat agar terjadi perdamaian sebagai salah satu hal yang dititipkan para leluhur kita. Belum lagi dampak dari tindak kekerasan ini menghancurkan masa depan, baik keluarga korban maupun anak-anak dari pelaku sendiri, hilangnya masa depan keluarga karena pembunuhan ini belum lagi dibully oleh sesama anak-anak kalau orang tuanya jadi pembunuh, tidak sedikit anak-anak pelaku yg malu ke sokolah dan lanjut putus sekolah, bisa dibayangkan bagaimana masa depan anak-anak ini nantinya, demikian juga bagi keluarga korban, tidak jauh berbeda sengsaranya, bekas luka akan membekas sepanjang masa, luapan emosi, hilangnya sosok kepala keluarga sebagai panutan, penasehat keluarga sudah tidak ada, masa depan anak-anak sudah dipastikan akan buruk juga.
Mau sampai kapan ini akan terjadi, di keluarga kita di kepulauan nias ini, perlu kita kembali duduk bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, OKP, LSM tokoh Pers dan Gakkum, ucap Soetopo. ***