Putusan Hakim Atas Koruptor ASABRI Kontroversial, GPSH Protes Keras
kah | Serba-Serbi Minggu, 30 Januari 2022 - 12:24:18 WIB
dpp300122
TERKAIT:
Jakarta , Sabtu.
Kecewa terhadap putusan Hakim yang memberi amar putusan Nihil kepada Heru Hidayat koruptor dana ASABRI lebih dari Rp. 16 Trilyun maka Dewan Pengurus Pusat Gerakan Pengawal Supremasi Hukum (DPP. GPSH) mengirim “TUJUH TUNTUTAN GPSH KE MAHKAMAH AGUNG RI”. Tututan itu tertuang dalam Surat DPP.GPSH bernomor ; 87 / Som – HKM / I / 2022, setebal 5 (lima) halaman yang juga dikirim ke beberapa instansi terkait dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa Heru Hidayat hukuman mati. Beberapa bulan lalu juga DPP. GPSH telah membuat pernyataan terbuka ke media masa bahwa GPSH mendukung penuh diterapkannya Vonis Hukuman Mati bagi garong garong berdasi yang dituntut hukuman lebih dari 5 (lima) tahun.
“ Putusan ini sangat, sangat, sangat menyakiti hati rakyat. Kami berharap Mahkamah Agung Republik Indonesia beserta Penegak Hukum lainnya dapat menjadi benteng yang kokoh dan berwibawa dalam menegakkan dan meluruskan arah, sistem, manajemen, kode etik dan perilaku penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. Sehingga hukuman terhadap koruptor dapat dimaksimalkan dan aparat penegak hukum dapat bekerja dan membuat vonis keputusan yang keras dan adil. Dengan harapan tindak pidana korupsi dapat ditekan habis menuju Indonesia zero corruption,” tegas Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Gerakan Pengawal Supremasi Hukum (DPP.GPSH) H.M.Ismail, SH, MH, yang didampingi Adv. Rudi Simamora, SE, SH, MH dan Adv. Ferry Ikhsan, SH Minggu di Jakarta (30/1/22).
Dijelaskan tujuh tuntutan GPSH kepada MA dan Intitusi Penegak Hukum lainnya itu antara lain berisi :
Pertama : Hakim-hakim yang menyidangkan kasus ini perlu diperiksa oleh Komisi Yudisial
Terhadap pelanggaran kode etik hakim.
Kedua : Jika hasil pemeriksaan terhadap terduga oknum hakim tersebut terbukti melanggar kode etik, disiplin, dan atau bahkan hukum, maka kami meminta agar terhadap terduga oknum hakim tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemecatan, denda, pidana, dan pencabutan hak politik demikian juga terhadap semua pihak terlibat lainnya agar diberikan sanksi yang keras dan adil.
Ketiga : Meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia agar memeriksa, merubah dan membatalkan keputusan vonis hakim terduga terlapor atas kasus yang dimaksud dalam surat ini, yaitu dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi tersebut, namun jika Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, maka kami berharap terhadap terdkwa koruptor dan semua pihak yang terbukti terlibat dapat dijatuhi hukuman yang sangat keras dan adil.
Keempat : Meminta pihak Kejaksaan / Penuntut Umum untuk segera melakukan upaya perlawanan banding..
Kelima : Meminta KPK untuk melakukan penyidikan ulang secara lebih intensif guna mengetahui lebih jauh siapa-siapa orang atau pejabat-pejabat dibelakang Heru Hidayat yang terlibat.
Keenam : Meminta kepada Bank Indonesia untuk melacak rekening-rekening terdakwa dan memblokirnya guna mencegah akan adanya suap yang bisa menghambat penyidikan.
Ketujuh : Pemerintah harus evaluasi dan lakukan peningkatan system pengawasan dan penindakan kembali yang salama ini dilakukan BEI dan Otoritas Jasa keuangan terhadap emiten atau perusahaan-perusahan yang ada. Hal ini dikarenakan tindakan korupsi berpeluang besar dikarenakan adanya kelonggaran dari pengawasan.
Oleh karena itu kata Ismail pihaknya mendesak Mahkamah Agung RI mengambil sikap tegas terhadap oknum hakim yang telah memeriksa dan mengadili perkara dugaan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa atas nama Heru Hidayat, Kasus Asabri, yang telah divonis nihil dalam amar putusannya terhadap terdakwa menurut pendapat hukum DPP.GPSH telah melukai. rasa keadilan masyarakat dan merugikan negara. Oleh sebab itu wajar jika GPSH desak Ketua Mahmakah Agung Republik Indonesia untuk periksa oknum hakim yang bersangkutan dan meninjau, merubah serta membatalkan keputusan hakim tersebut.
Pada bagian lainnya Ketum DPP. GPSH itu juga berikan sedikit ulasan Pendapat Majelis Hakim yang jelas tidak cermat dan mengabaikan pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun .2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa, “Kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.”. Pertanyaannya sekarang adalah bukankah saat ini seperti yang selalu digembar gemborkan oleh pemegang amanah bahwa saat ini kita tengah mengalami krisis ekonomi.Karena daya beli masyarakat rendah, jumlah pengangguran bertambah dan jumlah kemiskinan juga bertambah. ( Ricky Z )